Festival Malang Tempo Doeloe (MTD),
agenda tahunan khas Pemerintah Kota (Pemkot) Malang, Jawa Timur, tak hanya isi
dengan aneka macam dagangan tempo dulu seperti baju, dan barang antik lainnya,
yang ada sejak zaman kolonial. Namun yang juga menjadi ciri khas MTD, hampir
setiap pengunjung, saat keliling area MTD, sembari menikmati gulali.
Sejak MTD dibuka, pada 24 Mei lalu,
puluhan penjual gulali mewarnai pemandangan MTD. Para penjual gulali, terlihat mayoritas
dari kalangan orang tua. Penjual memang tak memiliki stan khusus untuk gulali.
Namun, para penjual mangkal di depan beberapa stan mewah. Maklum, harga stan
untuk di arena dalam sepanjang Jalan Ijen, rata-rata diatas Rp 1 juta.
"Kalau cuma jual gulali sewa
stan, tak nutut labanya. Bisanya hanya nempel di depan stan. Ada yang
jual keliling. Tapi resmi," kata Misnari, salah satu penjual gulali
keliling di Area MTD.
Namun, walau tak memiliki stan
khusus untuk menjual gulali, penganan yang terbuat dari gula itu laris manis,
dibeli para pengunjung yang datang ke MTD. "Gulali yang dijual disini,
bukan gulali yang dibuat dengan mesin modern. Tapi murni dimasak dengan
menggunakan wajan besar. Bukan dari gula pasir, tapi dibuat dari bahan dasar
gula pasir. Yakni tebu. Itu khas gulali Malang, yang terbuat dari air sari
tebu," katanya.
Gulali adalah makan an serba gula,
yang mengingatkan kita pada masa kanak-kanak. Gulali lebih mirip lolipop, meski
tentu dengan rasa yang berbeda. Gulali 100 persen terbuat dari gula pasir yang
dilelehkan dalam wajan besar dan kemudian dijual menggunakan wajan kecil,
dibawa berkeliling dengan pikulan.
Di wilayah Malang, terutama di
Kabupaten Malang, yang mayoritas masyarakatnya bertani tebu, gulali, sudah ada
sebelum tahun 1940. Gulali dikelola secara modern, dengan menggunakan mesin,
pertama kali diperkenalkan pada 1904 oleh William Morrison dan John C Wharton,
di St. Louis World's Fair dengan nama "Fairy Floss" (benang peri).
Namun, gulali yang dijual di MTD,
masih tradisional. Gulali masih di dalam wajan. Setiap pembeli diambilkan
langsung oleh si penjual di kendi berukuran besar dengan menggunakan bambu yang
sudah dipotong-potong, layaknya tusuk sate. Kalau tak ada Festival MTD, gulali
yang diproduksi secara tradisional sudah jarang ditemukan di Malang.
"Saat ini sudah jarang dijual
di tempat umum. beda dengan zaman dulu. Makanya gulali boleh dijual di MTD,
karena masuk makan an khas zaman
dulu," katanya.
Sementara itu, Misiyan (70), tampak
sibuk malayani pembeli gulali yang dijualnya. Ia mengaku sejak MTD dibuka, barang jualannya
sudah laris manis. "Saya sudah 4 tahun jualan gulali di MTD ini. Memang
laris," katanya ditemui Minggu (27/5/2012).
Harga gulali, murah meriah. Punya
uang Rp 1.000 sudah bisa makan gulali.
"Harganya tergantung pembelinya. Mulai harga Rp 1.000 hingga Rp 3.000.
Kalau Rp 2.000 lebih banyak," katanya.
Misiyan mengaku, dalam sehari,
dirinya harus menyediakan tiga wajan besar. "Masaknya malam hari di rumah.
Pagi sudah dibawa kesini untuk dijual. Enak sambil jalan-jalan makan gulali,"
katanya bernada promosi.
Dalam sehari semalam, Misiyan
mengaku, mampu meraup hasil Rp 500.000. "Kalau modalnya tak terlalu mahal.
Satu wajan paling hanya Rp 250.000. Hasilnya bisa sampai Rp 250.000 juga,"
akunya.
Sementara, Komang Ariestya , bersama
tiga temannya, serentak beli gulali. "Gulali mengingatkan kita masih
kecil. Makan gulali, bisa bernostalgia. Sambil jalan-jalan di Malang Tempo
Dulu," ujarnya.
Saat makan gulali, katanya,
bisa cerita masa lalu bersama teman-teman masa kecil, sambil jalan-jalan di
MTD. "Selain itu, gulali juga enak dan murah," katanya.
Hingga penyelenggaraan MTD ketujuh
kalinya, gulali masih setia mewarnai festival MTD. Bernostalgia bersama gulali
sembari menikmati suasana tempo dulu di MTD yang berakhir 27 Mei 2012.
No comments:
Post a Comment